sambungan.
Perang Enam
Hari
juga
dikenali sebagai Perang Arab-Israel 1967, merupakan peperangan antara Israel menghadapi gabungan tiga negara Arab, yaitu Mesir,
Yordania, dan Suriah, dan ketiganya juga mendapatkan bantuan aktif dari Irak,
Kuwait, Arab Saudi, Sudan
dan Aljazair. Perang tersebut berlangsung selama 132
jam 30 menit (kurang dari enam hari), hanya di front Suriah saja perang
berlangsung enam hari penuh.
Pada bulan Mei
tahun 1967, Mesir mengusir United Nations Emergency Force (UNEF) dari Semenanjung Sinai; ketika itu UNEF telah
berpatroli disana sejak tahun 1957 (yang disebabkan oleh
invasi atas Semenanjung Sinai
oleh Israel tahun 1956). Mesir mempersiapkan 1.000 tank dan
100.000 pasukan di perbatasan dan memblokade Selat Tiran (pintu masuk menuju Teluk Aqaba) terhadap kapal Israel dan memanggil
negara-negara Arab lainnya untuk bersatu melawan Israel. Pada tanggal 5 Juni 1967,
Israel melancarkan serangan terhadap pangkalan angkatan udara Mesir karena
takut akan terjadinya invasi oleh Mesir. Yordania lalu menyerang Yerusalem Barat dan Netanya. Pada akhir perang, Israel merebut Yerusalem Timur, Jalur Gaza, Semenanjung Sinai, Tepi Barat, dan Dataran Tinggi Golan.
Hasil dari perang ini mempengaruhi geopolitik kawasan Timur Tengah sampai hari
ini.[1]
Pada tanggal 6 Oktober 1973,
pada hari Yom Kippur, hari raya Yahudi yang paling besar, ketika orang-orang Israel sedang
khusyuk merayakannya, yang juga bertepatan dengan bulan Ramadhan bagi ummat Islam
sehingga dinamakan "Perang Ramadhan 1973", Suriah dan Mesir menyerbu Israel secara
tiba-tiba. Jumlah tentara invasi sungguh besar. Di dataran tinggi Golan, garis
pertahanan Israel yang hanya berjumlah 180 tank
harus berhadapan dengan 1400 tank Suriah. Sedangkan di terusan Suez, kurang dari 500 prajurit Israel
berhadapan dengan 80.000 prajurit Mesir.[2]
Mesir mengambil
pelajaran pada Perang Enam Hari
pada tahun 1967 tentang lemahnya pertahanan udara sehingga
saat itu 3/4 kekuatan udara mesir hancur total sementara Suriah masih dapat
memberikan perlawanan. Sadar bahwa armada pesawat tempur Mesir masih banyak
menggunakan teknologi lama dibandingkan Israel, Mesir akhirnya menerapkan
strategi payung udara dengan menggunakan rudal dan meriam anti serangan udara
bergerak yang jarak tembaknya dipadukan. Walhasil strategi ini ampuh karena
angkatan udara Israel akhirnya kewalahan bahkan banyak yang menjadi korban
karena berusaha menembus "jaring-jaring" pertahanan udara itu.
Pada permulaan
perang, Israel terpaksa menarik mundur pasukannya. Tetapi setelah memobilisasi
tentara cadangan, mereka bisa memukul tentara invasi sampai jauh di Mesir dan
Suriah. Israel berhasil "menjinakkan" payung udara Mesir yang
ternyata lambat dalam mengiringi gerak maju pasukkannya, dengan langsung
mengisi celah (gap) antara payung udara dengan pasukan yang sudah berada
lebih jauh di depan. Akibatnya beberapa divisi Mesir terjebak bahkan kehabisan
perbekalan. Sementara di front timur, Israel berhasil menahan serangan lapis
baja Syria.
Melihat situasi
berbahaya bagi Mesir, Uni Soviet tidak
tinggal diam, melihat tindakan Uni Soviet, Amerika Serikat segera mempersiapkan
kekuatannya. Dunia kembali diancam perang besar pasca perang Dunia II. Kemudian, Raja Faisal
bin Abdul Aziz dari Arab Saudi mengumumkan
pembatasan peroduksi minyak. Krisis energi muncul dan negara negara Industri
kewalahan lantaran harga minyak dunia membumbung tinggi. Dua minggu setelah
perang dimulai, Dewan Keamanan PBB
mengadakan rapat dan mengeluarkan resolusi 339 serta gencatan senjata dan
dengan ini mencegah kekalahan total Mesir.
Demikian ringkasan
konflik yang terjadi antara Israel dan bangsa Arab yang saya temukan di
berbagai artikel di Internet ;
No comments:
Post a Comment